Nama : Sekar
Budiarti
Npm :
10209835
kelas : 3 EA 16
DAFTAR ISI:
Abstraksi………………………………………………………………………………………………………….01
BAB 1 : Pendahuluan …………………………………………………… 02
a. Latar
Belakang …...……………………………………………………... 02
b. Tujuan
……………………………………………………………………. 03
c. Sasaran
……………………………………………………………………. 03
BAB 2 :
Perkembangan Perbankan Indonesia ………………………....... 04
a. Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah
Indonesia ………..04-05
b. Kriteria Kemiskinan Bank Dunia ..................……………….…………… 06-07
c Keuangan Mikro sebagai Peran Strategis …………………………………08-09
BAB 3 :
Kesimpulan dan Sumber Data ……………………………….. 09
a. Kesimpulan
…...………………...………………………………………. 09
b. Sumber Data
.…………………...………………………………………. 09
Abstraksi :
Pengelolaan sumber daya manusia mencakup antisipasi pengendalian seluruh
variasi dari sumber daya manusia tersebut.Analisis berkelanjutan tentang
kondisi sumber daya manusia diperlukan, dan juga manajemen praktis yang terus
diperbaharui.Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya
manusia adalah faktor kemiskinan yang
ada di indonesia.
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah makalah ini selesai juga. Makasih untuk ALLAH,karna makalah ini
telah selesai,dan buat rekan-rekan yang membantu menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini saya dedikasikan kepada para pembaca yang ingin mengetahui silsilah
kemiskinan versi pemerintah di Indonesia. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
seseorang yang sedang ingin mengetahui versi pemerintah di indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari
sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki
keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang
memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat.
Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat
terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada
pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural).
Tetapi pada umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah
kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori
miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat
hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi.
Definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah
membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai
karena;
1.2 Rumusan masalah :
(1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan;
(2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa
menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang
memadai;
(3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika
harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
1.3 Tujuan Penelitian
1. memberikan gambaran keadaan kemiskinan di Indonesia
2. dengan mengetahui tingkat kemiskinan dan apa-apa saja yang menyebabkan
kemiskinan kita akan bisa dengan mudah menentukan arah kebijakan
3. untuk memenuhi sarat kuliah perekonomian Indonesia di Universitas
Gunadarma
1.4 metodelogi penelitian:
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Konsep
dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut,
yaitu persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf),
kesehatan (antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi),
ketenagakerjaan,dan ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan
kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki
dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara
lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa
aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun
laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas
menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan kebutuhan dasar,
pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan
subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai
suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan,
pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan,
kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti
tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung memengaruhi
pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku
standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas
sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan
kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi
minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya
kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan
obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan
pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari
kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau
pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator utama kemiskinan berdasarkan pendekatan di
atas dapat dilihat dari
(1) kurangnya pangan, sandang, dan perumahan yang
tidak layak;
(2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat produksi;
(3) kurangnya kemampuan membaca dan menulis;
(4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup;
(5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial
dan ekonomi;
(6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah;
(7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas;
(8) dan sebagainya. Indikator tersebut dipertegas
dengan rumusan yang jelas, yang dibuat oleh Bappenas.
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah
terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu
layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan,
terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan
dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan
sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya
beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya
tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang
terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi
bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat
pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan
kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen
penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun
ini meningkat cukup signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak
balita penderita gizi buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3
juta jiwa anak yang menderita gizi buruk.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan
kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar,
rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku
hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi, jarak fasilitas
layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi
lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan
masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga
persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya
sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi
kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74
persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk
miskin.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan
yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan
yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun
tidak langsung. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya
perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti
buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan
perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat
miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan
kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan
layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan
fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama
disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber
air. Dalam hal lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat
miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah,
serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan
rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan
kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.
Dilihat dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR
menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik
dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi.
Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001
diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan
berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak,
dan pengusiran petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat
miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik
mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang
memungkinkan keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang
disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang
mendorong terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai
rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin.
Rumahtangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang,
sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut di atas, maka
indikator utama kemiskinan adalah :
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan;
(2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
kesehatan;
(3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan;
(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha;
(5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan
perbedaan upah;
(6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi;
(7) terbatasnya akses terhadap air bersih;
(8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan
tanah;
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan
sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam;
(10) lemahnya jaminan rasa aman;
(11) lemahnya partisipasi;
(12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga;
(13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang
menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya
korupsi, dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
B. Kriteria Kemiskinan Bank Dunia
Publikasi Bank Dunia (2001) berisi pembahasan
komprehensif tentang agenda penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan adalah perlunya
memperluas definisi, fakta, dan tujuan dari program anti kemiskinan. Selain
“pujian” bahwa sampai dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu mencapai hasil
“spektakuler” dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga
memberikan kritik bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam
penanggulangan kemiskinan terlalu menitikberatkan pada target angka. Garis
kemiskinan misalnya, ditekankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup
dalam arti yang sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan
pembangunan yang bersifat atas-bawah telah mengesampingkan banyak dimensi
kemiskinan yang meskipun sulit diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya
melihat mereka yang secara statistik masuk dalam kategori di bawah garis
kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan
dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan
angka dan menjauhkan diri dari target matematik tentu juga tidak mungkin,
karena bagaimanapun angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu
menitikberatkan pada pencapaian target statistik juga tidak bijaksana karena
terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan penggunaan
indikator pembangunan internasional yang disusun oleh wakil dari komunitas
internasional dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan target
penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut lebih
terfokus pada kedalaman target yang telah ditetapkan selama ini. Pada dimensi
standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin tahun 1999 adalah
27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar 13,5%. Pada
dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target misalnya angka tamat
pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat kematian bayi
maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana, apakah akses
kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi dapat
ditingkatkan lima tahun mendatang. Peningkatan partisipasi kalangan penduduk
miskin dalam keputusan politik setempat yang memengaruhi kehidupan mereka,
melalui program tertentu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.
Selama
kurun waktu 1975–1995 Indonesia telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan
terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun
1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama umur harapan
hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7 tahun, angka kematian
bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi
sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan tingkat partisipasi sekolah
menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.
Ukuran
yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan pembelian,
yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per
hari (Tamar Manuelyan Atinc). Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari seluruh
penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Dalam
hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti 108,78 juta
jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia.
Di
Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per hari
sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar AS per
hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke 7,7
persen memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di
atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus
menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin
bertambah.
Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan
adalah:
(1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar,
sarana dan prasarana;
(3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias
sektor;
(4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota
masyarakat dan sistem yang kurang mendukung;
(5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan
antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern);
(6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan
modal dalam masyarakat;
(7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan
seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya;
(8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan
baik (good governance);
(9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan
tidak berwawasan lingkungan.
Secara umum, indikator untuk mengukur kaya, miskin, setengah miskin, hingga
sangat miskin, sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Orang miskin yang aktif
bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau
pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara
keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%)
merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan
mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha
(Tambunan, 2002).
1.Usaha Mikro
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa
kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan.
Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada
usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based
development atau development through equity. Disamping mengakomodasi
pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara
riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah
mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan
dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2)
apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah
berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan
yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin
kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Tabel di bawah ini
memperlihatkan peran strategis dari usaha mikro (oleh World Bank disebut economically
active poor) dalam mengurangi kemiskinan.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis,
timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk
menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan
yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan
(aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
Jenis Kesulitan
|
IKR
|
IK
|
1. Kesulitan modal
|
34.55%
|
44.05%
|
2. Pengadaan bahan baku
|
20.14%
|
12.22%
|
3. Pemasaran
|
31.70%
|
34.00%
|
4. Kesulitan lainnya
|
13.6%
|
9.73%
|
Sumber: Data BPS terolah (1999)
IKR: Industri Kecil Rumah Tangga
IK: Industri Kecil
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak
tersentuh (undeserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh
lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya
terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak
layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta
diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang
rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka
aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah,
sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas
tersebut.
Darimana
Modal Diperoleh
Uraian
|
IKR
|
IK
|
_
Modal Sendiri
_
Modal Pinjaman
_
Modal Sendiri dan Pinjaman
|
90.36%
3.20%
6.44%
|
69.82%
4.76%
25.42%
|
Jumlah
|
100%
|
100%
|
Asal Pinjaman
_
Bank
_
Koperasi
_
Institusi Lain
Lain-lain
|
18.79%
7.09%
8.25%
70.35%
|
59.78%
4.85%
7.63%
32.16%
|
Sumber: Data BPS terolah (1998)
C.Keuangan Mikro sebagai Peran Strategis
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik
itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui
keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat
Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu.
Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu
dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington
tanggal 2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan
penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak
negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan
keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat
(perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk
menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600
juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises)
untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih
lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah
mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga
Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan
mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically
active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
1. Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana
mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh
masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership
base, di mana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai
makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara
lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit
Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll.
2. Banking with the poor Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan
kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat
yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya
berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat
simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat
nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat
miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di
Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank
dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
3. Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution di mana
sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi
tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang
ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar
yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk
ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP),
Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk
pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi
masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the
poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital
heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking
with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary)
dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
Desa
hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 2004 dari 36,10
juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (24,80 juta jiwa)
tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 2005, prosentase angka kemiskinan
mengalami penurunan dari 36,10 juta jiwa menjadi 35,10 juta jiwa. Tabel berikut
menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara kota
dengan desa dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2005.
Tabel
1.
Jumlah
dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Menurut
Daerah, 1996-2005
tahun
|
jumlah
penduduk miskin (juta)
|
persentase
penduduk miskin
|
|
kota
|
desa
|
kota+desa
|
kota
|
desa
|
kota+desa
|
1996
|
9,42
|
24,59
|
34,01
|
13,39
|
19,78
|
17,47
|
1998
|
17,6
|
31,9
|
49,5
|
21,92
|
25,72
|
24,23
|
1999
|
15,64
|
32,33
|
47,97
|
19,41
|
26,03
|
23,43
|
2000
|
12,3
|
26,4
|
38,7
|
14,6
|
22,38
|
19,14
|
2001
|
8,6
|
29,3
|
37,9
|
9,76
|
24,84
|
18,41
|
2002
|
13,3
|
25,1
|
38,4
|
14,46
|
21,1
|
18,2
|
2003
|
12,2
|
25,1
|
37,3
|
13,57
|
20,23
|
17,42
|
2004
|
11,4
|
24,8
|
36,1
|
12,13
|
20,11
|
16,66
|
2005
|
12,4
|
22,7
|
35,1
|
11,37
|
19,51
|
15,97
|
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Berita
Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006. 3
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah
dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari tahun
ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005
(Tabel 1). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis
Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75
persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah
35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95
juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak
banyak berubah. Pada bulan Maret
2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
D.Penjelasan
Teknis dan Sumber Data
a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI),
yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan.
b. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang
terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara
terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
c. Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung
kemiskinan adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Panel Februari
2005 dan Maret 2006. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei
SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan
proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.
E.Penyebab
kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat
menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama,
program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada
upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal tersebut antara lain
berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk
orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan
yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat
menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada
kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku
masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih
difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan
ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program
bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah
lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya
sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta
dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program
penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang
penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada
tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara
lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang
digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah
data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data
mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua
data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang
sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada
indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan
dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia
sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik
dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang
berlaku secara lokal. Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut
tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin
lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di
Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam
menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang
sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang
dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan
(keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang
sama mencapai 84 persen. Kedua angka inicukup menyulitkan pemerintah dalam
menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran
rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka
BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama
ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada
dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan
serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut
mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat
digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk
target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran
rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab
kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model
ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah
berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap,
antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data
rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator-indikator
yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Disamping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan,
juga masih bersifat sentralistik dan seragam, tidak dikembangkan dari kondisi
akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang
spesifik-lokal.
F.Strategi
Penanggulangan Kemiskinan
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat
lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan
diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang
menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Berikut beberapa program pengentasan rakyat miskin :
(Litbang KOMPAS)
1.
Era Presiden Soekarno :
~
Pembangunan Nasional Berencana 8 tahun (Penasbede)
2. Era Presiden Soeharto :
~
Repelita I – IV melalui program Sektoral & Regional
~
Repelita IV – V melalui program Inpres Desa Tertinggal
~
Program Pembangunan Keluarga Sejahtera
~
Program Kesejahteraan Sosial
~
Tabungan Keluarga Sejahtera
~
Kredit Usaha Keluarga Sejahtera
~
GN-OTA
~
Kredit Usaha Tani
3.
Era Presiden BJ Habiebie :
~
Jaring Pengaman Sosial
~
Program Penanggulangan Kemiskinan & Perkotaan
~Program
Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
~
Program Pengembangan Kecamatan
4.
Era Presiden Gusdur :
~
Jaring Pengaman Sosial
~
Kredit Ketahanan Pangan
~ Program
Penangggulangan Kemiskinan & Perkotaan
5.
Era Presiden Megawati :
~
Pembentukan Komite Penganggulangan Kemiskinan
~ Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
6.
Era Presiden SBY :
~
Pembentukan Tim Koordinasi Penganggulangan Kemiskinan
~
Bantuan Langsung Tunai
~
Program Pengembangan Kecamatan
~
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
~
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Untuk lebih memfokuskan tujuan penanggulangan
kemiskinan maka data penduduk miskin dikelompokkan dalam (a) Usia lebih dari 55
tahun (aging poor), yaitu kelompok masyarakat yang tidak lagi produktif
(usia sudah lanjut, miskin dan tidak produktif). Untuk kelompok tersebut
program pemerintah yang dilaksanakan adalah pelayanan sosial. (b) Usia di bawah
15 tahun (young poor), yaitu kelompok masyarakat yang belum produktif
(usia sekolah, belum bisa bekerja). Program pemerintah yang dilakukan yaitu
penyiapan sosial. (c) Usia antara 15-55 tahun (productive poor), yaitu
usia sedang tidak produktif (usia kerja tetapi tidak mendapat pekerjaan,
menganggur), program yang dilakukan adalah investasi ekonomi dan inilah
sekaligus yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan.
Untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK
menetapkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama,
mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua,
meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya.
Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha
masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman
program, pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah
program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas
sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar
pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik.
Untuk pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat
di atas pendanaan disalurkan melalui dua jalur yaitu melibatkan peran lembaga
keuangan baik bank maupun non-bank dan bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan
langsung kepada masyarakat (BLM). Melalui jalur lembaga keuangan dilakukan
dengan menghimbau kepada bank-bank yang dikoordinasi oleh pemegang otoritas
moneter (Bank Indonesia) untuk memprioritaskan business plan penyaluran
kreditnya pada usaha-usaha mikro yang dimiliki oleh masyarakat.
Masalah
utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data
tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut
juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup
indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu
daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya
indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai
kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan.
Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau
kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan
wilayah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Total Kemiskinan Penduduk Indonesia menurut Pemerintah
Indonesia dan Bank Dunia berbeda cukup signifikan. Berdasarkan Data Badan Pusat
Statistik menyebutkan bahwa prosentase penduduk miskin di Indonesia sebanyak
17,76% pada tahun 2006. Sedangkan Bank Dunia melaporkan sebanyal 49%. Hal ini
disebabkan karena indikator yang digunakan berbeda. Indikator kemiskinan menurut
Bank Dunia adalah pengeluaran dibawah $2 per hari. Sedangkan menurut Pemerintah
Republik Indonesia aadalah pengeluaran dibawah $1.55.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan
ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI),
yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan. penduduk yang
hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari (Tamar Manuelyan
Atinc).
Di Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di
bawah 1 dollar per hari sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar AS
per hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke
7,7 persen memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup
di atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus
menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin
bertambah.
Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang
dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
baik materiil maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai
bila bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya
penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan
menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan
perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis
ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM
dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara
individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti
pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan
perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor, dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan
kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang
selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya
finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena
karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka
tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat
mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk
menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu
aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri
sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk
sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam
penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu daerah harus membentuk Komite
Penanggulangan Kemiskinan tingkat daerah sebagai forum koordinasi dan
sinkronisasi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh
pemerintah maupun non-pemerintah. KPK daerah harus mampu mengidentifikasi
masalahnya sendiri, memecahkan masalah, melaksanakan program, mengevaluasi dan
akhirnya menyempurnakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Daftar Pustaka:
http://kumpulanilmuekonomi.blogspot.com/2010/12/makalah-perekonomian-indonesia.html